Asal muasal nama Somalangu
Kata Somalangu muncul dari suatu ungkapan kalimat dalam bahasa Arab, yang diakhiri dengan kata “Tsumma Dha’u”.
Yang berarti “Silahkan anda menempati”.
Adapun
awal muasalnya
kata tersebut yaitu bermula dari titah R. Hasan Al-Fatah Sultan Demak pada waktu memberikan tanah perdikan kepada Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani yang sekarang ditempati sebagai Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
kata tersebut yaitu bermula dari titah R. Hasan Al-Fatah Sultan Demak pada waktu memberikan tanah perdikan kepada Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al_Hasani yang sekarang ditempati sebagai Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Adapun
pemberian ini merupakan suatu bentuk hadiah dari Sultan atas jasa
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani dalam membantu menemukan solusi
pemecahan hukum yang timbul bagi para pengikut Syekh Siti Jenar dari
akibat dikenai hukuman matinya sang pemimpin mereka.
Lengkap kisahnya begini ;
Syekh
Siti Jenar adalah seorang tokoh pembawa ajaran tasawuf faham hulul
atau wahdatul wujud pada masa pemerintahan Sultan Al-Fatah, Demak.
Faham hulul ini dalam istilah Jawa dikenal sebagai faham “Manunggaling
Kawulo Gusti”. Yaitu suatu faham tasawuf yang mengajarkan dapat
terjadinya suatu keadaan penyatuan sifat - sifat ketuhanan pada diri
seorang Salik (pengamal).
Aliran ini (Syekh
Siti Jenar) ditentang oleh kebanyakan para tokoh ulama tasawuf yang
menganut faham ‘wahdatus syuhud’. Yaitu faham yang menyatakan bahwa
tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang Salik hanyalah berupa
kemampuan mengetahui hal - hal yang dikehendaki oleh Allah Swt. Jadi
Si Salik hanya mampu menjalankan apa yang dikehendaki oleh Allah Swt
bukan bertindak sebagai “Tuhan”.
Karena faham
mayoritas tasawuf kesultanan Demak waktu itu adalah faham wahdatus
syuhud maka Syekh Siti Jenar ahirnya diadili oleh Majlis Ulama
Kesultanan. Vonis hukuman mati dijatuhkan pada Syekh Siti Jenar karena
beliau tidak mau merubah faham atau setidak - tidaknya menghentikan
faham yang diajarkannya itu pada ummat.
Pendek
kisah, setelah Syekh Sidi Jenar dikenai hukuman mati ahirnya muncul
masalah sosial ditingkat lapis bawah masyarakat Kesultanan Demak.
Mereka yang selama ini menjadi pengikut Syekh Sidi Jenar tetap
beranggapan bahwa faham tasawuf yang mereka anut itu adalah benar dan
mereka tetap bersikap tidak mau mengikuti faham mayoritas ummat islam.
Para ulama menjadi jengah dengan sikap mereka itu.
Fatwa
- fatwa liar pun bermunculan. Ada yang memfatwakan bahwa para pengikut
Syekh Sidi Jenar ini juga harus dihukum mati sebagaimana pemimpin
mereka jika tidak bertaubat. Namun ada pula yang berfatwa bahwa para
pengikut Syekh Sidi Jenar itu cukup dibina saja.
Keadaan
sosial keagamaan yang runyam ini berlangsung sampai beberapa saat,
sehingga Kesultanan sampai mengkhawatirkan terjadinya instabilitas
politik kenegaraan. Sebagai sebuah kesultanan Islam pertama di Jawa
yang merasa bertanggung jawab pada keadaan warga serta stabilitas
politik maka Sultan Demak R. Hasan Al-Fatah ahirnya memprakarsai
perlunya pertemuan tokoh - tokoh ulama dari seluruh seantero kesultanan
Demak untuk memtuskan hukum persoalan faham “Manunggaling Kawulo Gusti”
ini.
Muktamar Ulama itu ahirnya dilaksanakan
dengan mengambil tempat di pusat Kesultanan Islam Demak yaitu di
komplek Masjid Demak. Pada saat muktamar ini, hadir pula tokoh Syekh
As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani.
Dalam Muktamar
Ulama untuk “Bahsul Masail” soal faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu
muncullah perdebatan yang cukup sengit antara mereka yang berpendapat
bahwa pengikut Syekh Sidi Jenar juga harus dikenai hukuman mati dengan
kelompok ulama yang berargumen jika pengikut Syekh Sidi Jenar itu cukup
dibina saja dan tidak perlu untuk sampai dihukum mati. Alasan serta
dalil yang mereka ajukan sama - sama kuat.
Kelompok
pertama berargumen para pengikut Syekh Sidi Jenar itu harus dihukum
mati pula sebagaimana pemimpinnya karena sang pemimpin dihukum mati
juga sebab mengikuti dan mengajarkan faham “Manunggaling Kawulo Gusti”
itu pada orang lain. Oleh karenanya siapa saja yang mengikuti dan
mengajarkan ajaran tersebut pada orang lain juga harus dikenai hukuman
mati. Sementara itu kelompok yang kedua mengajukan dasar jika pengikut
Syekh Sidi Jenar cukup dibina saja dan tidak perlu dihukum mati karena
tingkat berfikir mereka yang belum sampai serta terbatas.
Sehingga
mereka dalam mengikuti faham “Manunggaling Kawulo Gusti” itu tidak
sama derajatnya dengan sang pemimpin. Oleh karenanya hukumannya-pun
juga berbeda dengan yang memimpin.
Beda
pendapat ini hampir - hampir saja menimbulkan persoalan baru dikalangan
para tokoh ulama. Karenanya Sultan R. Hasan Al-Fatah segera meminta
pendapat Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tentang cara mengatasi
persoalan pelik ini menurut beliau. Syekh As_Sayid Abdul Kahfi
Al-Hasani yang semula hanya mendengarkan saja argumen masing - masing
tokoh ulama dua kelompok tersebut ahirnya angkat bicara.
“Begini Sultan”
“Menurut pendapat saya, jika para tokoh ulama ini setuju mari kita kembalikan saja persoalan ini pada asal akar adanya persoalan”
“Menurut pendapat saya, jika para tokoh ulama ini setuju mari kita kembalikan saja persoalan ini pada asal akar adanya persoalan”
Para hadirin diam dan seksama mendengarkan uraian beliau.
“Akar masalah faham hulul ini adalah masalah hakekat. Bukan masalah Syariat.”
“Sehingga menurut pendapat saya jika langsung diputusi dengan cara syariat tetapi mengabaikan unsur hakekatnya maka hasilnya akan selalu menimbulkan perselisihan”
“Yang terbaik menurut saya adalah mengembalikan hakekat masalah ini kepada Allah Swt dengan cara Syariat. Biarlah Allah Swt yang memutuskan langsung hukum seperti apa yang terbaik bagi para pengikut Syekh Sidi Jenar.”
Sultan-pun bertanya, “Maksud antum bagaimana?”
“Sehingga menurut pendapat saya jika langsung diputusi dengan cara syariat tetapi mengabaikan unsur hakekatnya maka hasilnya akan selalu menimbulkan perselisihan”
“Yang terbaik menurut saya adalah mengembalikan hakekat masalah ini kepada Allah Swt dengan cara Syariat. Biarlah Allah Swt yang memutuskan langsung hukum seperti apa yang terbaik bagi para pengikut Syekh Sidi Jenar.”
Sultan-pun bertanya, “Maksud antum bagaimana?”
“Jika
Sultan setuju dan hadirin juga sepakat, saya usul marilah kita semua
menulis pendapat kita masing - masing tentang hukuman apa yang perlu
dijatuhkan pada para pengikut Syekh Sidi Jenar pada sebuah deluwang
dengan disertai dalil - dalilnya sesuai dengan keyakinan serta
pengetahuan masing - masing”
“Agar hati kita
terjaga keikhlasannya dalam memutuskan masalah ini dengan tanpa ada
rasa kebencian pada suatu golongan maka alangkah baiknya agar tulisan
pada deluwang itu tidak diketahui isinya selain dirinya sendiri dan
Allah Swt.”
“Sesudah itu, tulisan - tulisan tersebut digulung dan dimasukkan dalam sebuah kendi”
“Sesudah itu, tulisan - tulisan tersebut digulung dan dimasukkan dalam sebuah kendi”
“Baru
sesudah semuanya selesai, silahkan salah satu diantara kita yang hadir
disini berkenan untuk memimpin doa. Adapun isi doanya adalah jika
Allah Swt lebih ridha apabila para pengikut Syekh Sidi Jenar dihukum
mati maka mohon Allah Swt berkenan menghapuskan tulisan - tulisan yang
berisikan bahwa pengikut Syekh Sidi Jenar cukup dibina saja. Demikian
pula jika Allah Swt lebih ridha apabila para pengikut Syekh Sidi Jenar
cukup dibina saja, maka mohon Allah Swt kiranya berkenan untuk menghapus
seluruh tulisan yang berisikan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar
itu harus dihukum mati.”
Sultan R. Hasan Al-Fatah pun mengangguk - anggukkan kepalanya tanda memahami.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian melanjutkan lagi,
“Ketika salah satu diantara kita yang hadir disini memimpin doa, saya mohon semuanya untuk ikhlash mengamini.”
“Sesudah hal itu selesai, maka marilah tulisan - tulisan tersebut kita buka dan baca bersama - sama. Manakah yang terhapus dan manakah yang masih ada”
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani kemudian melanjutkan lagi,
“Ketika salah satu diantara kita yang hadir disini memimpin doa, saya mohon semuanya untuk ikhlash mengamini.”
“Sesudah hal itu selesai, maka marilah tulisan - tulisan tersebut kita buka dan baca bersama - sama. Manakah yang terhapus dan manakah yang masih ada”
Ketika pendapat ini selesai
diajukan, semua tokoh ulama sepakat untuk menerimanya. Sultan-pun
ahirnya setuju. Karena cara pemecahan ini dianggap sebagai sebuah cara
pemecahan terbaik.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani ahirnya yang ditunjuk untuk berdoa. Mungkin salah satu pertimbangannya adalah karena beliau tidak terlibat konflik pro - kontra pendapat pada sebelumnya.
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani ahirnya yang ditunjuk untuk berdoa. Mungkin salah satu pertimbangannya adalah karena beliau tidak terlibat konflik pro - kontra pendapat pada sebelumnya.
Setelah
doa dipanjatkan dan isi masing - masing deluwang yang ada dalam kendi
itu dibuka, ternyata tulisan yang masih ada adalah tulisan - tulisan
pendapat ulama yang menyatakan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu
cukup dibina saja. Sementara tulisan - tulisan pendapat yang
menyatakan bahwa para pengikut Syekh Sidi Jenar itu wajib dihukum mati
hapus tak berbekas.
Karena semua ulama yang
hadir ditempat tersebut memang ikhlas ahirnya menerima hasil tersebut
dan bersujud syukur bersama dari kesalahan mengambil ketetapan hukum.
Sultan R. Hasan Al-Fatah pun senang. Sebagai imbalan atas jasa dari
Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani tersebut kemudian beliau
memberikan titah atau Sabdo Pandita Ratunya dengan menghadiahkan tanah
keberadaan Syekh As_Sayid Abdul Kahfi Al-Hasani sebagai sebuah tanah
perdikan. Adapun cara Sultan R. Hasan Al-Fatah memberikan Sabdo Pandita
Ratunya waktu itu dengan menggunakan bahasa Arab yang diakhiri dengan
kalimat “Tsumma Dha’u” (ثُــمَّ ضَـعُّــوْا). Huruf “Wawu” pada kalimat
tersebut menunjukkan wawu jama’ lit ta’dzim. Sehingga artinya
“Silahkan anda menempati”. Adapun naskah lengkapnya ada dalam
kepustakaan Pengsuh Pesantren Al-Kahfi Somalangu.
Untuk
mengenang peristiwa ini, ketika sepulangnya Syekh As_Sayid Abdul Kahfi
Al-Hasani ketempat tinggalnya beliau ceritakan kejadian tersebut pada
para siswa - siswa beliau. Oleh karenanya akhirnya mereka mengingat -
ingat peristiwa itu dengan ungkapan “Tsumma Dha’u”nya. Lama kelamaan
berita ini tersiar ramai kepelbagai tempat. Ketika itu warga dan santri
yang mayoritas masyarakat Jawa tulen dan belum fasih mengucap huruf tsa
( ث ) dan dhod ( ض ) ahirnya dalam menirukan ucapan terjadi salah
ejaan. Kalimat tsu menjadi “So” dan dho menjadi “la”.
Salah
ejaan dalam lidah masyarakat Jawa tempo dulu terhadap pelafadzan
Arabic memang merupakan hal yang belum dapat dihindari. Kata yang
seharusnya diucapkan “tsu” menjadi “So” dan “Dha” menjadi “la” adalah
hal yg wajar dan umum terjadi. Contoh kata “Wudhu” menjadi Wulu. Dan
kata “Tsurya” menjadi Surya. Dari sinilah maka akhirnya kata “Tsumma
Dha’u” menjadi sebuah kata yang memunculkan nama Somalangu.
Daerah
Somalangu sebelum ini dikenal masyarakat dengan nama daerah “Alang -
Alang Wangi”. Adapun sebab musabab disebut dengan Alang - Alang Wangi
adalah karena daun alang - alang yang digunakan sebagai atap Masjid
Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu menurut kisahnya memgeluarkan bau
harum yang mewangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar